Salah satu isu hangat belakangan ini adalah rencana DPR membangun gedung baru. Awalnya, DPR beralasan karena gedung DPR yang ada saat ini mengalami ‘kemiringan’ beberapa derajat. Berikutnya DPR beralasan karena gedung yang ada saat ini sudah tidak memadai; ruangan masing-masing anggota DPR sudah terasa sempit, apalagi ada penambahan staf ahli masing-masing anggota DPR di setiap ruangan.
Rencana awal, pembangunan gedung itu akan menghabiskan biaya sekitar Rp 1,8 triliun rupiah. Saat masyarakat menganggap besarnya biaya itu terlalu mahal, DPR pun men“diskon”nya beberapa kali hingga menjadi hanya Rp 1,138 triliun saja saat ini.
Luas ruangan bagi setiap anggota DPR di gedung baru nanti direncanakan 111 meter persegi dengan total biaya per-ruangan sekitar Rp 800 juta. Itu belum termasuk mebel dan laptop (Detiknews.com, 5/4/2010). Lebih dari itu, dalam maket awal, gedung DPR baru ini juga dilengkapi dengan fasilitas layaknya hotel, antara lain kolam renang dan spa.
Awalnya, nyaris tak ada penolakan dari para anggota DPR terkait rencana tersebut. Namun belakangan, sebagian fraksi/anggota di DPR berbalik arah. Tidak aneh jika berubahnya sikap sebagian fraksi ini dianggap hanya merupakan upaya pencitraan saja. Pasalnya, perubahan sikap tersebut baru terjadi setelah berbagai komponen masyarakat ramai-ramai memprotes rencana yang dianggap anti rakyat itu, apalagi dalam kondisi masih banyaknya rakyat miskin yang tak punya rumah.
Meski demikian, beberapa anggota DPR tetap ngotot. Salah satunya adalah Ketua DPR Marzuki Alie yang bersikeras bahwa rencana pembangunan telah melalui prosedur yang benar. Ia justru mempersoalkan sejumlah fraksi di DPR yang berubah sikap dalam masalah itu (Republika, 5/4/2010). Lebih dari itu, Ketua DPR Marzuki Alie menilai rakyat tidak perlu diajak bicara terkait dengan proyek gedung baru tersebut, karena mereka tidak paham. "Ini cuma orang-orang elite yang paham yang bisa membahas ini (pembangunan gedung baru DPR), rakyat biasa tidak bisa dibawa," ujar Marzuki Alie kepada wartawan di gedung DPR, Jakarta, Jumat (1/4/2011) (Inilah.com, 5/4/20110).
Bukan Kasus Pertama
Kengototan DPR untuk mengegolkan rencana pembangunan gedung baru tersebut hanyalah salah satu dari sikap anti rakyat yang ditunjukkan DPR. Pada awal pelantikan para anggotanya saja, DPR telah menghamburkan uang rakyat miliaran rupiah. Padahal, seperti biasa, acara pelantikan tersebut lebih bersifat seremonial belaka. Sebagaimana kita ketahui, di tengah kemiskinan jutaan rakyat negeri ini, pelantikan Anggota DPR Terpilih Periode 2009-2014 saat itu tampak mewah karena menelan biaya sekitar Rp 11 miliar hanya untuk acara sekitar dua jam saja. Metro TV (7/9/2009) menyebutkan biaya pembuatan pin anggota DPR saja mencapai Rp 5 juta perorang. Dan biaya Rp 11 miliar itu baru dari KPU saja. Adapun dari DPR sendiri, Setjen DPR saat itu menganggarkan Rp 26 miliar atau sekitar Rp 46,5 juta peranggota untuk biaya pindah tugas (tiket keluarga anggota Dewan dan biaya pengepakan) bagi anggota baru terpilih dari luar Jakarta (Kompas.com, 9/9/2009).
Lalu baru beberapa bulan dilantik dan belum menunjukkan kinerjanya, beberapa waktu lalu ramai diberitakan tentang kunjungan para anggota DPR ke luar negeri dengan alasan ‘studi banding’; ke Amerika, Yunani, Afrika Selatan dan sejumlah negara Eropa. Lagi-lagi, ‘studi banding’ itu dinilai banyak kalangan lebih merupakan pelesiran para anggota DPR menggunakan uang rakyat. Menurut Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Yuna Farhan, setiap kali kunjungan ke luar negeri, tiap anggota Dewan mendapat uang saku sebesar Rp 20-28 juta dan uang representasi US$ 2.000 (Sekitar Rp 20 juta). Koalisi Masyarakat Sipil memperkirakan, pada tahun 2010 dana studi banding DPR RI mencapai Rp 162,94 miliar dan berpotensi menimbulkan tindak pidana korupsi (Bisnis.com, 16/9/2010).
Kasus di atas hanyalah secuil contoh betapa DPR lebih peduli terhadap dirinya sendiri ketimbang terhadap rakyat yang mereka wakili. Faktanya, selama ini DPR abai terhadap nasib rakyat secara umum. Sebagaimana kita ketahui, saat ini puluhan juta rakyat di negeri ini masih dihimpit kemiskinan. Namun, tak ada tindakan nyata dari DPR untuk mendesak Pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang bisa mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Yang terjadi, DPR malah setali tiga uang dengan Pemerintah. DPR, malah menyetujui APBN anti rakyat yang diajukan Pemerintah, misalnya APBN 2011. Dari hasil analisis Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) terhadap APBN 2011, misalnya, ditemukan data bahwa anggaran ‘pelesiran’ membengkak: dari rencana Rp 20,9 triliun dalam RAPBN 2011 menjadi Rp 24,5 triliun dalam APBN 2011. Menurut FITRA, belanja perjalanan adalah belanja yang terus membengkak setiap tahunnya. Dalam APBN 2010 pun, Pemerintah menetapkan anggaran perjalanan Rp 16,2 triliun, lalu membengkak menjadi Rp 19,5 triliun dalam APBN-P (Republika, 17/1/2011).
.....
Baca Dipostingan Selanjutnya
.....