DPR = Dewan Penghianat Rakyat , Bag.2




Membengkaknya anggaran perjalanan di APBN 2011 ini tentu bukan semata karena peran Pemerintah, tetapi juga DPR. Pasalnya, RAPBN 2011 yang diajukan Pemerintah harus mendapat persetujuan DPR hingga bisa disahkan menjadi APBN 2011.
Jumlah anggaran perjalanan di atas, misalnya, jauh lebih besar dari jumlah anggaran Jamkesmas 2011 yang hanya sebesar Rp 5,6 triliun. Bahkan menurut analisis FITRA, Pemerintah justru memangkas belanja fungsi kesehatan dari 19,8 triliun Rupiah di APBN-P 2010 menjadi 13,6 triliun Rupiah di APBN 2011. Anggaran yang dialokasikan untuk menanggulangi gizi buruk pada balita hanya Rp 209,5 miliar. Padahal dari berbagai data, di Indonesia terdapat 4,1 juta balita yang mengalami gizi buruk. Artinya, untuk satu balita hanya dialokasikan sekitar Rp 50 ribuan/balita/tahun atau sekitar Rp 4 ribuan/balita/bulan.

Disamping itu, seperti diketahui, pada akhir tahun 2010 tercatat masih ada 31,02 juta jiwa penduduk miskin di negeri ini. Di sisi lain, dengan alasan untuk menghemat anggaran, Pemerintah memutuskan melakukan pembatasan BBM bersubsidi. Padahal, seperti yang diprediksi oleh BPS, pembatasan BBM bersubsidi itu pasti menyebabkan kenaikan harga barang atau inflasi. Ujung-ujungnya rakyat secara umum jugalah yang harus menanggung akibatnya. Pertanyaannya: pedulikah DPR terhadap semua ini yang notebene sangat terkait dengan kepentingan rakyat? Jawabannya: Tidak! DPR justru tampak abai kalau menyangkut kepentingan rakyat dan sebaliknya sangat peduli kalau menyangkut kepentingan dirinya sendiri.

Bukan hanya tidak peduli, DPR malah sering mengeluarkan UU seperti UU Migas, UU SDA, UU Listrik, UU Penanaman Modal, UU BHP, UU Minerba, dll, yang justru berpotensi menyengsarakan rakyat. Pasalnya, UU tersebut sarat dengan nuansa liberalisasi ekonomi. Muara dari liberalisasi ekonomi tidak lain adalah penyerahan kedaulatan atas sumberdaya alam milik rakyat kepada pihak asing. Karena itu, jangan aneh jika saat ini lebih dari 90 persen energi, misalnya, telah dikuasai pihak asing. Sumberdaya minyak dan gas (migas) juga telah banyak dikuasai pihak asing. Tentu saja semua itu legal berdasarkan UU yang diproduksi DPR. Akibatnya, di dalam negeri sendiri sering terjadi kelangkaan energi dan migas. BBM menjadi langka dan mahal. Akibatnya, kebijakan untuk menaikkan harga BBM atau pembatasan subsidi BBM selalu menjadi pilihan Pemerintah. Celakanya, kebijakan yang menyengsarakan rakyat itu sering disetujui DPR.



Mengkhianati Amanah, Menuai Laknat

Menjadi wakil rakyat sesungguhnya adalah amanah. Amanah ini berkaitan erat dengan faktor keimanan. Rasulullah saw. bersabda:


« لاَ إِيْماَنَ لِمَنْ لاَ اَمَانَةَ لَهُ »

Tidak ada iman bagi orang yang tidak amanah. (HR ath-Thabari).


Karena itu, amanah wajib dijaga dan sebaliknya haram untuk dikhianati. Amanah menjadi wakil rakyat tidak saja harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat di dunia, tetapi juga di hadapan Allah di akhirat kelak. Sayangnya, jangankan di hadapan Allah di akhirat kelak, di hadapan rakyat pun para wakil rakyat tidak bisa mempertanggungjawabkan amanah rakyat yang mereka wakili. Pertanyaannya: layakkah terus-menerus berharap kepada wakil rakyat yang justru sering mengkhianati amanah rakyat yang mereka wakili? Tentu tidak! Sudah terlalu banyak bukti bahwa DPR—juga Pemerintah—yang notabene produk dari sistem demokrasi sekular, mengkhianati amanah rakyatnya sendiri. Hal ini wajar belaka. Sebab, dalam demokrasi yang berdaulat memang bukan rakyat, tetapi elit wakil rakyat yang berkolabirasi dengan penguasa dan para pemilik modal. Kepada merekalah demokrasi berkhidmat, bukan kepada rakyat. Karena itu, tak selayaknya umat ini berharap kepada mereka yang tidak amanah. Sebab, Baginda Nabi saw. bersabda:



«فَإِذَا ضُيِعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَاعَةَ . فَقَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا ؟ قَالَ: إَذَا وُسِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»

“Jika amanah diabaikan maka tunggulah kehancurannya.” Sahabat bertanya, “Bilamana amanah diabaikan?” Rasul menjawab, “Jika suatu perkara diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.” (HR al-Bukhari dan Muslim).


Segera Kembali pada Sistem Islam

Jelas, umat saat ini wajib segera kembali ke sistem pemerintahan Islam yang menerapkan syariah Islam secara total atas mereka. Umat harus segera menegakkan Khilafah Islam dengan segera mengangkat penguasa (khalifah) yang beriman dan bertakwa, sekaligus mengangkat para wakil rakyat yang amanah. Hanya kepada merekalah kepercayaan dan amanah selayaknya digantungkan. Wallâh a’lam bi ash-shawâb
Previous
Next Post »