Penyimpangan di Sekitar Teks Proklamasi RI

Tidak banyak di antara generasi muda di Indonesia yang mengetahui bahwa sebenarnya ada problem mendasar di sekitar peristiwa proklamasi Republik Indonesia. Adalah seorang tokoh sejarah bernama KH Firdaus AN yang menyingkap terjadinya pengkhianatan terhadap Islam menjelang, saat, dan setelah kemerdekaan. Menurut beliau semestinya ada sebuah koreksi sejarah yang dilakukan oleh ummat Islam. Koreksi sejarah tersebut menyangkut pembacaan teks proklamasi yang setiap tahun dibacakan dalam upacara kenegaraan.
Dalam penjelasan ensiklopedia bebas wikipedia, naskah proklamasi ditulis tahun 05 karena sesuai dengan tahun Jepang yang kala itu adalah tahun 2605. Berikut isi teks proklamasi yang disusun oleh duet Soekarno-Hatta:

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara seksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja.

Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05 Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta

Teks tersebut merupakan hasil ketikan Sayuti Melik (atau Sajoeti Melik), salah seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan proklamasi.

Proklamasi kemerdekaan itu diumumkan di rumah Bung Karno, jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 17 Agustus 1945, hari Jum'at, bulan Ramadhan, pukul 10.00 pagi.

Kritik KH Firdaus AN terhadap teks Proklamasi di atas:
1. Teks Proklamasi seperti tersebut di atas jelas melanggar konsensus, atau kesepakatan bersama yang telah ditetapkan oleh BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada 22 Juni 1945.

2. Yang ditetapkan pada 22 Juni 1945 itu ialah, bahwa teks Piagam Jakarta harus dijadikan sebagai Teks Proklamasi atau Deklarasi Kemerdekaan Indonesia.

3. Alasan atau dalih Bung Hatta seperti diceritakan dalam bukunya Sekitar Proklamasi hal. 49, bahwa pada malam tanggal 16 Agustus 1945 itu, 'Tidak seorang di antara kami yang mempunyai teks yang resmi yang dibuat pada tanggal 22 Juni 1945, yang sekarang disebut Piagam Jakarta, ' tidak dapat diterima, karena telah melanggar kaidah-kaidah sejarah yang harus dijunjung tinggi. Mengapa mereka tidak mengambil teks yang resmi itu di rumah beliau di Jl. Diponegoro yang jaraknya cukup dekat, tidak sampai dua menit perjalanan? Mengapa mereka bisa ke rumah Mayjend. Nisimura, penguasa Jepang yang telah menyerah dan menyempatkan diri untuk bicara cukup lama malam itu, tapi untuk mengambil teks Proklamasi yang resmi dan telah disiapkan sejak dua bulan sebelumnya mereka tidak mau? Sungguh tidak masuk akal jika esok pagi Proklamasi akan diumumkan, jam dua malam masih belum ada teksnya. Dan akhirnya teks itu harus dibuat terburu-buru, ditulis tangan dan penuh dengan coretan, seolah-olah Proklamasi yang amat penting bagi sejarah suatu bangsa itu dibuat terburu-buru tanpa persiapan yang matang!

4. Teks Proklamasi itu bukan hanya ditandatangani oleh 2 (dua) orang tokoh nasional (Soekarno-Hatta), tetapi harus ditanda-tangani oleh 9 (sembilan) orang tokoh seperti dicantum dalam Piagam Jakarta. Keluar dan menyimpang dari ketentuan tersebut tadi adalah manipulasi dan penyimpangan sejarah yang mestinya harus dihindari. Teks itu tidak otentik dan tidak dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Deklarasi Kemerdekaan Amerika saja ditandatangani oleh lebih dari 5 (lima) orang tokoh.

5. Teks Proklamasi itu terlalu pendek, hanya terdiri dari dua alinea yang sangat ringkas dan hampa, tidak aspiratif. Ya,tidak mencerminkan aspirasi bangsa Indonesia; tidak mencerminkan cita-cita yang dianut oleh golongan terbesar bangsa ini, yakni para penganut agama Islam.

Tak heran banyak pemuda yang menolak teks Proklamasi yang dipandang gegabah itu. Tak ada di dunia, teks Proklamasi atau deklarasi kemerdekaan yang tidak mencerminkan aspirasi bangsanya. Teks Proklamasi itu manipulatif dan merupakan distorsi sejarah, karena tidak sesuai dengan fakta yang ada di lapangan. Dalam sejarah tak ada kata maaf, karena itu harus diluruskan kembali teks Proklamasi yang asli. Adapun teks Proklamasi yang otentik, yang telah disepakati bersama oleh BPUPKI pada 22 Juni 1945 itu sesuai dengan teks atau lafal Piagam Jakarta. Jelasnya, teks proklamasi itu haruslah berbunyi seperti di bawah ini:

PROKLAMASI

Bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan. Dan perjuangan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke pintu gerbang Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa, dan didorong oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka dengan ini rakyat Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Kemudian dari pada itu, untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia, yang melindungi segenap bangsa Indonesia, dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, dengan berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Jakarta, 22 Juni 1945

Ir. Soekarno, Drs. Muhammad Hatta, Mr. Ahmad Soebardjo, Abikusno Tjokrosujoso, A.A. Maramis, Abdul Kahar Muzakir, H. Agus Salim, KH. Wahid Hasjim, Mr. Muh Yamin.


KH Firdaus AN mengusulkan supaya dilakukan koreksi sejarah. Untuk selanjutnya, demi menghormati musyawarah BPUPKI yang telah bekerja keras mempersiapkan usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, maka semestinya pada setiap peringatan kemerdekaan RI tidak lagi dibacakan teks proklamasi ”darurat” susunan BK-Hatta. Hendaknya kembali kepada orisinalitas teks proklamasi yang otentik seperti tercantum dalam Piagam Jakarta 22 Juni 1945 di atas.

Benarlah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam yang mensinyalir bahwa dekadensi ummat terjadi secara gradual. Didahului pertama kali oleh terurainya ikatan Islam berupa simpul hukum (aspek kehidupan sosial-kenegaraan). Tanpa kecuali ini pula yang menimpa negeri ini. Semenjak sebagian founding fathers negeri ini tidak berlaku ”amanah” sejak hari pertama memproklamirkan kemerdekaan maka diikuti dengan terurainya ikatan Islam lainnya sehingga dewasa ini kita lihat begitu banyak orang bahkan terang-terangan meninggalkan kewajiban sholat. Mereka telah mencoret kata-kata ”syariat Islam” dari teks proklamasi. Bahkan dalam teks proklamasi ”darurat” tersebut nama Allah ta’aala saja tidak dicantumkan, padahal dibacakan di bulan suci Ramadhan..! Seolah kemerdekaan yang diraih bangsa Indonesia tidak ada kaitan dengan pertolongan Allah ta’aala...!

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيُنْقَضَنَّ عُرَى الْإِسْلَامِ عُرْوَةً عُرْوَةً فَكُلَّمَا انْتَقَضَتْ عُرْوَةٌ تَشَبَّثَ النَّاسُ بِالَّتِي تَلِيهَا وَأَوَّلُهُنَّ نَقْضًا الْحُكْمُ وَآخِرُهُنَّ الصَّلَاةُ

“Sungguh akan terurai ikatan Islam simpul demi simpul. Setiap satu simpul terlepas maka manusia akan bergantung pada simpul berikutnya. Yang paling awal terurai adalah hukum dan yang paling akhir adalah sholat.” (HR Ahmad 45/134)

Kalau kita bandingkan antara teks proklamasi yang sudah dipersiapkan bahkan seharusnya dibacakan pada tanggal 17 Agustus 1945 dengan teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno, maka setidaknya ada dua masalah mendasar.

Pertama, dalam teks proklamasi otentik terdapat kalimat ”Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa.”Sedangkan dalam teks teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno kalimat ini tidak ada.

Kedua, dalam teks proklamasi otentik terdapat kalimat ”...berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya”. Sedangkan dalam teks proklamasi hasil corat-coret Bung Karno kalimat ini tidak ada.

Kedua catatan di atas merupakan masalah mendasar, terutama bagi ummat Islam. Dihapusnya kalimat yang mencantumkan nama Allah subhaanahu wa ta’aala menyiratkan bahwa kemerdekaan yang diraih oleh bangsa Indonesia merupakan hasil jerih payah tangan manusia semata. Seolah bangsa Indonesia tidak pernah membutuhkan Allah ta’aala dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Padahal sejarah jelas mencatat bahwa semenjak para penjajah kafir Portugis, Inggris, Belanda dan Jepang menginjakkan kaki di bumi Nusantara yang menjadi tulang punggung utama perlawanan terhadap mereka ialah para santri dan para kyai alias ummat Islam. Merekalah para mujahidin fi sabilillah yang dengan gagah berani memerdekakan negeri ini dari kehadiran para penjajah kafir tersebut. Dan selama mereka berjuang ratusan tahun seruan mereka tidak lain hanyalah ALLAH AKBAR...!

Para pendahulu kita menyadari bahwa satu-satunya tempat memohon pertolongan dalam mengusir para penjajah hanyalah Allah subhaanahu wa ta’aala. Ini berlaku sejak perjuangan Fatahillah, Imam Bonjol, Diponegoro hingga Bung Tomo di Surabaya. Dan ini pula yang telah menginspirasi para founding fathers dalam BPUPKI ketika merumuskan teks Proklamasi dan mukaddimah Undang-undang Dasar 1945. Sehingga dengan penuh ke-tawadhu-an mereka mencantumkan kalimat ”Atas berkat Rahmat Allah Yang Maha Kuasa”. Sebab mereka menyadari bahwa tidak ada sesuatupun yang dapat diraih tanpa bantuan dan pertolongan Allah ta’aala.

لَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

Laa haula wa laa quwwata illa billah (Tiada daya dan tiada kekuatan selain bersama Allah ta’aala).

Sejarah Islam juga mengajarkan hal ini. Ketika Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam memasuki kota Makkah dalam peristiwa fenomenal Fathu Makkah tercatat wajah beliau hampir menyentuh leher untanya karena tawadhu merendahkan diri di hadapan pemberi kemenangan sebenarnya, yakni Allah ta’aala. Berbeda dengan para pemimpin dunia yang biasanya saat merayakan kemenangan mereka membusungkan dada dan mengangkat kepala tinggi seolah ingin menunjukkan bahwa dirinyalah penyebab kemenangan yang diraihnya. Mereka tidak ingat kepada Allah ta’aala samasekali...!

إِذَا جَاءَ نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجًا فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّابًا

”Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah ta’aala dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.” (QS AnNashr ayat 1-3)

Bahkan para founding fathers dalam BPUPKI memandang tidak cukup hanya mencantumkan asma Allah di dalam teks Proklamasi. Mereka malah kemudian mencantumkan jalan hidup seperti apa yang semestinya ditempuh ummat Islam di negeri ini agar tercermin rasa syukur semestinya kepada Allah ta’aala Yang memberikan kemerdekaan sebenarnya. Oleh karena itu tercantumlah di dalamnya kalimat ”...berdasarkan kepada ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya.”

Para pendahulu di negeri ini sadar bahwa sekedar menyatakan Allah subhaanahu wa ta’aala sebagai tuhan tidaklah cukup. Namun lebih jauh lagi harus ditegaskan bahwa jalan hidup komponen terbesar bangsa harus diikat dengan syari’at Islam yang digariskan tuhan Allah subhaanahu wa ta’aala. Hanya dengan mengikatkan diri kepada tali agama Allah ta’aala sajalah ummat Islam di negeri ini bakal terpelihara kesatuannya.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

”Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. (QS Ali Imran ayat 103)

KH Firdaus AN menulis di dalam catatannya sebagai berikut:

Tanpa disadari, mereka telah memperlihatkan belangnya sebagai nasionalis sekuler dan kolaborator penjajah yang anti Islam, yang membawa masyarakat dan negara ke arah yang dimurkai Allah, yaitu deIslamisasi (baca: menjauhkan diri dari Islam). Jelaslah, kaum nasionalis sekuler tidak tahu arti bersyukur, dan tidak tahu arti syukur nikmat kemerdekaan.

Masih perlukah kita merasa heran mengapa bangsa ini tidak kunjung selesai dirundung malang bila sejak hari-hari awal kemerdekaannya saja para pemimpinnya telah terlibat dalam pengkhianatan yang begitu fundamental...? Wallahu a’lam bish-showwaab.
Previous
Next Post »