Musim dingin 1990, putri kedua
Laurence Brown lahir. Tapi putrinya mengalami gangguan kesehatan yang
serius, terjadi penyempitan di lengkungan pembuluh darah aortanya,
sehingga peredaran darah bayinya tidak lancar. Brown menyaksikan
bagaimana tubuh puteri mungilnya membiru dari bagian dada sampai ujung
kaki dan harus dirawat di ruang perawatan intensif untuk bayi yang baru
lahir.
Sebagai seorang dokter bedah, Brown sangat
paham tindakan medis apa yang akan dilakukan dokter terhadap putrinya.
Tak ada jalan lain selain melakukan pembedahan darurat di bagian dada,
meski tindakan medis itu tidak memberikan
peluang besar bagi puterinya untuk bertahan hidup.
Ketika konsultan ahli bedah kardio-toraks
yang akan menangani putrinya datang, perasaan Brown campur aduk antara
sedih dan takut. "Tidak ada teman kecuali rasa takut, dan tidak tempat
untuk berbagi kesedihan sementara saya menunggu hasil pemeriksaan
konsultan itu. Saya lalu pergi ke ruangan tempat berdoa di rumah sakit
dan duduk bersimpuh," ujar Brown menceritakan kekalutan hatinya saat
itu.
Ia mengakui, itulah kali pertama dalam
hidupnya ia berdoa dengan tulus dan sungguh-sungguh. "Sebagai seorang
atheis, saat itulah pertama kalinya saya, dengan setengah hati, mengakui
Tuhan. Saya katakan setengah hati, bahkan dalam situasi panik itu, saya
tidak sepenuhnya meyakini Tuhan. Saya cuma berdoa dengan sikap skeptis.
Tuhan, jika Tuhan itu memang ada, Tuhan akan menyelamatkan putri saya,
saya berjanji akan mencari dan mengikuti agama yang paling menyenangkan
hati-Nya," tutur Brown.
Sekitar 10 sampai 15 menit kemudian, Brown
kembali ke ruang perawatan intensif putrinya dan sangat kaget mendengar
penjelasan konsultan bedah yang mengatakan bahwa putrinya akan
baik-baik saja. Perkataan konsultan itu terbukti, dalam waktu dua hari,
kondisi bayi perempuan Brown menunjukkan kemajuan tanpa harus diberi
obat-obatan dan menjalani pembedahan. Bayi perempuan Brown yang diberi
nama Hannah itu selanjutnya tumbuh dengan normal seperti anak-anak
lainnya.
Setelah putrinya dinyatakan sehat, sekarang
giliran Brown yang harus memenuhi janjinya di depan Tuhan, saat ia
berdoa memohon keselamatan Hannah. Ia mengatakan, sebagai seorang
atheis, mudah bagi Brown untuk membangun kembali ketidakpercayaannya
akan eksistensi Tuhan, dan menyerahkan pemulihan putrinya pada dokter
dan bukan pada Tuhan. Tapi Brown tidak melakukan itu. "Dalam perjanjian
itu, Tuhan sudah menunjukkan kebaikannya, dan saya merasa juga harus
melakukan hal yang sama. Tuhan sudah mengabulkan doa saya," tukas Brown.
Selama beberapa tahun Brown berusaha memenuhi "perjanjian"nya
dengan Tuhan. Tapi ia merasa gagal menemukan agama ingin ia peluk. Brown
mempelajari Yudaisme, beragam aliran Kristen, tapi tidak pernah merasa
bahwa ia telah menemukan kebenaran. "Selama beberapa waktu, saya
mendatangi berbagai gereja aliran Kristen. Yang paling lama, saya ikut
jamaah gereja Katolik Roma, tapi saya tidak pernah secara resmi memeluk
agama itu," tutur Brown.
Ia mengaku tidak pernah bisa memilih agama
Kristen karena alasan sederhana; ia tidak bisa menemukan kesesesuaian
ajaran alkitab tentang Yesus dengan ajaran dari berbagai sekte Kristen
lainnya. Karena tak menemukan agama yang sesuai dengan hatinya, Brown
akhirnya memilih berdiam diri di rumah dan banyak membaca. Di masa-masa
itulah, Brown mengenal Al-Quran dan buku biografi Nabi Muhammad Saw. yang ditulis oleh Martin
Lings, berjudul "Muhammad, His Life Based on Earliest Sources".
Dari Al-Quran yang dibacanya, Brown menemukan bahwa kitab suci
umat Islam itu mengajarkan bahwa Tuhan itu hanya satu, dan nabi-nabi
seperti Nabi Musa dan Yesus (Nabi Isa) juga mengajarkan tentang keesaan
Tuhan. Sebuah konsep berbeda yang pernah ia tahu dalam ajaran agama
Yudaisme dan Kristen yang pernah dipelajarinya bertahun-tahun. Setelah
membaca buku biografi Nabi Muhammad Saw. Brown juga mulai meyakini bahwa
Nabi Muhammad adalah nabi terakhir.
"Tiba-tiba saja
semuanya seperti masuk akal, seiring dengan keyakinan yang tumbuh itu.
Kontinuitas rantai kenabian, turunnya wahyu, hanya satu Tuhan yang
Mahabesar, dan lengkapnya wahyu-wahyu Allah dalam Al-Quran, tiba-tiba
menimbulkan rasa yang sempurna. Inilah yang membuat saya kemudian
menjadi seorang Muslim," papar Brown.
Sampai sekarang,
sudah 10 tahun Laurence Brown menjadi seorang muslim. Selama itu, ia
belajar satu hal, bahwa "Di luar sana banyak orang yang lebih cerdas dan pandai dibandingkan
dirinya, tapi orang-orang itu tidak mampu mengetahui kebenaran Islam,"
ujar Brown.
"Yang terpenting bukan seberapa pintar
seseorang, tapi sebuah pencerahan seperti yang ditegaskan Allah bahwa
mereka yang percaya agama Allah, tetap akan tidak percaya, meski jika
diberi peringatan akan dosa jika menolak keberadaan Allah. Jika
demikian, Allah juga akan mengabaikan mereka dan menjauhkan mereka dari
kebenaran-Nya ..."