Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam telah bersabda:
“Termasuk dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya.”
(H.R.Tirmidzi dan yang lainnya)
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam kitab Al Arba’in bahwa hadits ini derajatnya hasan. Syaikh Salim Al Hilali menyatakan dalam buku “Shahih Al Adzkar wa Dhaifuhu” hadits ini shahih lighairihi… Kesimpulannya hadits ini benar adanya dari Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam.
Imam Ibnu Rajab rahimahullah (wafat tahun 795 H) mengatakan:
“Hadits ini merupakan fondasi yang sangat agung dari fondasi-fondasi adab.”
Beliau juga menyatakan pula tentang pengertian hadits ini:
“Sesungguhnya barangsiapa yang baik keislamannya, pasti ia meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting baginya, ucapan dan perbuatan dia terbatas dalam hal yang penting baginya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Standar penting di sini bukan menurut rasa atau rasio kita yang tidak lepas dari pengaruh hawa nafsu, akan tetapi berdasarkan tuntunan syari’at Islam.
Termasuk meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting adalah meninggalkan hal-hal yang haram, atau yang masih samar, atau sesuatu yang makruh, bahkan berlebihan dalam perkara-perkara yang mubah sekalipun apabila tidak dibutuhkan, termasuk kategori hal-hal yang tidak penting.
Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan pula:
“Kebanyakan pendapat yang ada tentang maksud meninggalkan apa-apa yang tidak penting adalah menjaga lisan dari ucapan yang tidak berguna sebagaimana disebutkan oleh Allah :
“Tidaklah seorang mengucapkan satu ucapan, kecuali padanya ada malaikat yang mengawasi dan mencatat.” (Surat Qaaf: 18)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata:
“Barangsiapa yang membandingkan antara ucapan dan perbuatannya, tentu ia akan sedikit berbicara, kecuali dalam hal-hal yang penting.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al Adzkar:
“Ketahuilah, sesungguhnya setiap mukallaf (muslim) diharuskan menjaga lisannya dari segala ucapan, kecuali yang mengandung maslahat. Apabila sama maslahatnya, baik ia berbicara atau diam, maka sunnah untuk menahannya, karena kata-kata yang mubah dapat mengakibatkan akhirnya kepada yang haram atau makruh, dan ini yang seringkali terjadi pada umumnya, padahal mencari keselamatan itu tak ada bandingannya.”
Artinya mencari keselamatan itu sangat penting sekali.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah (wafat tahun 751 H) berkata:
“Menjaga lisan adalah agar jangan sampai seseorang mengucapkan kata-kata yang sia-sia, apabila ia berkata hendaklah berkata yang diharapkan terdapat padanya keuntungan padanya dan manfaat bagi dien (agama)nya. Apabila ia akan berbicara hendaklah ia pikirkan, apakah dalam ucapan yang akan ia keluarkan terdapat manfaat dan keuntungan atau tidak? Apabila tidak bermanfaat hendaklah ia diam, apabila bermanfaat hendaklah ia pikirkan lagi, adakah kata-kata yang lebih bermanfaat atau tidak? Supaya ia tidak menyia-nyiakan waktunya dengan yang pertama.” (Dinukil dari kitab Ad Da’u wad Dawa’)
Selanjutnya beliau juga mengatakan dalam kitab yang sama:
“Adalah sangat mengherankan bahwa manusia mudah sekali untuk menghindari dari memakan barang yang haram, berbuat zhalim, berzina, mencuri, minum-minuman keras, memandang pandangan yang diharamkan, dan lain sebagainya, tetapi sulit untuk menjaga gerakan lisannya, sampai-sampai seseorang yang dipandang sebagai ahli agama, zuhud, gemar ibadah, tetapi dia berbicara dengan ucapan yang membuat Allah murka padanya, disebabkan ucapannya tersebut tanpa ia sangka-sangka menyebabkan ia terjerumus ke neraka jahannam lebih jauh antara jarak timur dan barat. Betapa banyak orang yang demikian yang engkau lihat dalam hal wara’, meninggalkan kekejian dan kezhaliman, tetapi lisannya diumbar ke sana kemari menodai kehormatan orang-orang yang hidup dan yang telah meninggal dunia, tanpa mempedulikan akibat dari kata-kata yang diucapkannya.”
Ancaman yang disebutkan tadi berasal dari sabda Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata, ia tidak memikirkan (apakah baik atau buruk) di dalamnya, maka ia tergelincir disebabkan kata-kata itu, ke dalam api neraka sejauh antara timur dan barat.” (Muttafaq alaihi)
Terakhir sebagai penutup marilah kita simak nasehat dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hafizhahullah yang diringkas dari karyanya Syarah Riyadhus Shalihin:
“Seorang muslim apabila ia ingin baik keislamannya, maka hendaklah ia meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya.
Contoh: Apabila engkau bingung terhadap suatu amalan, apakah engkau kerjakan atau tidak? Lihatlah amalan itu apakah penting untukmu dalam hal dien dan dunia atau tidak penting?
Jika penting maka lakukanlah, kalau tidak maka tinggalkanlah, karena keselamatan itu harus lebih diutamakan.
Begitulah, janganlah engkau ikut campur dengan urusan orang lain, jika kamu tidak memiliki kepentingan dengannya, tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini berupa rasa ingin tahu terhadap urusan orang lain, apabila ada dua orang yang sedang berbincang-bincang, maka engkau datangi keduanya, ingin tahu apa yang sedang diucapkan oleh mereka berdua, atau terkadang mengutus orang lain untuk mendengarkannya.
Contoh yang lain, jika engkau berjumpa dengan orang lain, engkau bertanya kepadanya, “Darimana kamu?”, “Apa yang dikatakan si fulan kepadamu?”, “Apa yang kamu katakan kepadanya?”, dan lain-lain sebagainya dari perkara-perkara yang tidak penting, dan tidak ada faedahnya, bahkan ia menyia-nyiakan waktu, membuat hati gelisah, dan mengacaukan pikirannya serta menyia-nyiakan kebanyakan dari perkara-perkara penting dan bermanfaat. Engkau dapatkan seorang yang dinamis, aktif dalam beramal, memiliki perhatian penuh terhadap kebaikan bagi dirinya dan hal-hal yang bermanfaat baginya, maka engkau dapatkan dia sebagai orang yang produktif.
Maka kesimpulannya, jika engkau ingin melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan, perhatikanlah! Apakah hal itu penting bagimu atau tidak? Jika tidak penting, maka tinggalkanlah. Apabila penting, maka kerjakanlah sesuai dengan prioritasnya. Begitulah manusia yang berakal, ia sangat perhatian dengan amal kebaikan sebagai persiapan menghadapi kematian, dan dia selalu menginstropeksi diri terhadap amal-amalnya selama ini.
“Termasuk dari kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya.”
(H.R.Tirmidzi dan yang lainnya)
Imam Nawawi rahimahullah menyatakan dalam kitab Al Arba’in bahwa hadits ini derajatnya hasan. Syaikh Salim Al Hilali menyatakan dalam buku “Shahih Al Adzkar wa Dhaifuhu” hadits ini shahih lighairihi… Kesimpulannya hadits ini benar adanya dari Rasulullah shallallhu ‘alaihi wa sallam.
Imam Ibnu Rajab rahimahullah (wafat tahun 795 H) mengatakan:
“Hadits ini merupakan fondasi yang sangat agung dari fondasi-fondasi adab.”
Beliau juga menyatakan pula tentang pengertian hadits ini:
“Sesungguhnya barangsiapa yang baik keislamannya, pasti ia meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting baginya, ucapan dan perbuatan dia terbatas dalam hal yang penting baginya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam)
Standar penting di sini bukan menurut rasa atau rasio kita yang tidak lepas dari pengaruh hawa nafsu, akan tetapi berdasarkan tuntunan syari’at Islam.
Termasuk meninggalkan ucapan dan perbuatan yang tidak penting adalah meninggalkan hal-hal yang haram, atau yang masih samar, atau sesuatu yang makruh, bahkan berlebihan dalam perkara-perkara yang mubah sekalipun apabila tidak dibutuhkan, termasuk kategori hal-hal yang tidak penting.
Imam Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan pula:
“Kebanyakan pendapat yang ada tentang maksud meninggalkan apa-apa yang tidak penting adalah menjaga lisan dari ucapan yang tidak berguna sebagaimana disebutkan oleh Allah :
“Tidaklah seorang mengucapkan satu ucapan, kecuali padanya ada malaikat yang mengawasi dan mencatat.” (Surat Qaaf: 18)
Umar bin Abdul Aziz rahimahullah berkata:
“Barangsiapa yang membandingkan antara ucapan dan perbuatannya, tentu ia akan sedikit berbicara, kecuali dalam hal-hal yang penting.”
Imam Nawawi rahimahullah berkata dalam kitab Al Adzkar:
“Ketahuilah, sesungguhnya setiap mukallaf (muslim) diharuskan menjaga lisannya dari segala ucapan, kecuali yang mengandung maslahat. Apabila sama maslahatnya, baik ia berbicara atau diam, maka sunnah untuk menahannya, karena kata-kata yang mubah dapat mengakibatkan akhirnya kepada yang haram atau makruh, dan ini yang seringkali terjadi pada umumnya, padahal mencari keselamatan itu tak ada bandingannya.”
Artinya mencari keselamatan itu sangat penting sekali.
Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah (wafat tahun 751 H) berkata:
“Menjaga lisan adalah agar jangan sampai seseorang mengucapkan kata-kata yang sia-sia, apabila ia berkata hendaklah berkata yang diharapkan terdapat padanya keuntungan padanya dan manfaat bagi dien (agama)nya. Apabila ia akan berbicara hendaklah ia pikirkan, apakah dalam ucapan yang akan ia keluarkan terdapat manfaat dan keuntungan atau tidak? Apabila tidak bermanfaat hendaklah ia diam, apabila bermanfaat hendaklah ia pikirkan lagi, adakah kata-kata yang lebih bermanfaat atau tidak? Supaya ia tidak menyia-nyiakan waktunya dengan yang pertama.” (Dinukil dari kitab Ad Da’u wad Dawa’)
Selanjutnya beliau juga mengatakan dalam kitab yang sama:
“Adalah sangat mengherankan bahwa manusia mudah sekali untuk menghindari dari memakan barang yang haram, berbuat zhalim, berzina, mencuri, minum-minuman keras, memandang pandangan yang diharamkan, dan lain sebagainya, tetapi sulit untuk menjaga gerakan lisannya, sampai-sampai seseorang yang dipandang sebagai ahli agama, zuhud, gemar ibadah, tetapi dia berbicara dengan ucapan yang membuat Allah murka padanya, disebabkan ucapannya tersebut tanpa ia sangka-sangka menyebabkan ia terjerumus ke neraka jahannam lebih jauh antara jarak timur dan barat. Betapa banyak orang yang demikian yang engkau lihat dalam hal wara’, meninggalkan kekejian dan kezhaliman, tetapi lisannya diumbar ke sana kemari menodai kehormatan orang-orang yang hidup dan yang telah meninggal dunia, tanpa mempedulikan akibat dari kata-kata yang diucapkannya.”
Ancaman yang disebutkan tadi berasal dari sabda Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam:
“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kata-kata, ia tidak memikirkan (apakah baik atau buruk) di dalamnya, maka ia tergelincir disebabkan kata-kata itu, ke dalam api neraka sejauh antara timur dan barat.” (Muttafaq alaihi)
Terakhir sebagai penutup marilah kita simak nasehat dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hafizhahullah yang diringkas dari karyanya Syarah Riyadhus Shalihin:
“Seorang muslim apabila ia ingin baik keislamannya, maka hendaklah ia meninggalkan apa-apa yang tidak penting baginya.
Contoh: Apabila engkau bingung terhadap suatu amalan, apakah engkau kerjakan atau tidak? Lihatlah amalan itu apakah penting untukmu dalam hal dien dan dunia atau tidak penting?
Jika penting maka lakukanlah, kalau tidak maka tinggalkanlah, karena keselamatan itu harus lebih diutamakan.
Begitulah, janganlah engkau ikut campur dengan urusan orang lain, jika kamu tidak memiliki kepentingan dengannya, tidak seperti yang dilakukan oleh sebagian manusia pada hari ini berupa rasa ingin tahu terhadap urusan orang lain, apabila ada dua orang yang sedang berbincang-bincang, maka engkau datangi keduanya, ingin tahu apa yang sedang diucapkan oleh mereka berdua, atau terkadang mengutus orang lain untuk mendengarkannya.
Contoh yang lain, jika engkau berjumpa dengan orang lain, engkau bertanya kepadanya, “Darimana kamu?”, “Apa yang dikatakan si fulan kepadamu?”, “Apa yang kamu katakan kepadanya?”, dan lain-lain sebagainya dari perkara-perkara yang tidak penting, dan tidak ada faedahnya, bahkan ia menyia-nyiakan waktu, membuat hati gelisah, dan mengacaukan pikirannya serta menyia-nyiakan kebanyakan dari perkara-perkara penting dan bermanfaat. Engkau dapatkan seorang yang dinamis, aktif dalam beramal, memiliki perhatian penuh terhadap kebaikan bagi dirinya dan hal-hal yang bermanfaat baginya, maka engkau dapatkan dia sebagai orang yang produktif.
Maka kesimpulannya, jika engkau ingin melakukan atau meninggalkan suatu pekerjaan, perhatikanlah! Apakah hal itu penting bagimu atau tidak? Jika tidak penting, maka tinggalkanlah. Apabila penting, maka kerjakanlah sesuai dengan prioritasnya. Begitulah manusia yang berakal, ia sangat perhatian dengan amal kebaikan sebagai persiapan menghadapi kematian, dan dia selalu menginstropeksi diri terhadap amal-amalnya selama ini.